Kamis, 23 April 2015

Karapan Sapi yang Memunah!

Madura merupakan suku etnis dengan populasi yang besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20.200.000 untuk saat ini. Mereka berasal dari pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya. 
Seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean. 
Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur Jawa Timur biasa disebut wilayah Tapal Kuda, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. 

Orang Madura yang berada di Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Lumajang, Jember, jumlahnya paling banyak dan jarang yang bisa berbahasa Jawa, juga termasuk Surabaya Utara, serta sebagian Malang. ada juga yang menetap di Bawean, di negeri jiran Malaysia, Timor Leste, brunei Darussalam misalnya juga ada, bahkan mereka ada yang menjadi penduduk tetap (sudah dapat AiC/ surat tinggal selamanya.
Di samping suku Jawa dan Sunda, orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, serta ke Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi, dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Beberapa kota di Kalimantan seperti Sampit dan Sambas, pernah terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan orang Madura disebabkan oleh kesenjangan sosial, namun sekarang kesenjangan itu sudah mereda dan etnis Madura dan penduduk setempat sudah rukun kembali. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi, suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang perantauan asal Madura umumnya berprofesi sebagai pedagang, misalnya: berjual-beli besi tua, pedagang asongan, dan pedagang pasar. Namun, tidak sedikit pula di antara mereka yang menjadi tokoh nasional seperti ketua MK Mahfud Md, Wardiman Djojonegoro (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998 di bawah pemerintahan Presiden Soeharto),Rahmat Saleh ( mantan Mentri Perdagangan dan Gubernur Bank Indonesia ) di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, R. Hartono adalah seorang mantan jenderal dengan pangkat tertinggi di TNI Angkatan Darat yaitu jenderal bintang empat dengan jabatan tertinggi pula sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Dia merupakan satu-satunya perwira tinggi dari korps Kavaleri yang mendapatkan pangkat jenderal penuh (bintang empat) juga ( Mantan Mentri Penerangan ), M.A.Rachman Mantan Jaksa Agung.Hadi Purnomo Mantan Ketua BPK ), Nurmahmudi Ismael Mantan Mentri Kehutanandan Presiden PKS ), Soejono Chanafian Atmonegoro Mantan Jaksa Agung ), Herman Widyanan Mantan Wakil BPK ) , Banoerusman Astrosemitro Mantan Kapolri ). Hanafie Hasnan Mantan Kepala staf Angkatan Udara AURI ),Muhammad Arifin ( Mantan Kepala Staff ALRI ) , Roemanhadi Mantan Kepala Staf Kepolisian RI ). Tokoh penyair dan budayawan Madura yang terkenal dengan julukan Clurit Emas, HD. Zawawi Imron, merupakan tokoh autodidak asli produk Madura dll. Selain itu banyak juga terdapat tokoh pejuang kemerdekaan yang layak menjadi Pahlawan nasional Indonesia Seperti: Trunojoyo yang telah memberikan perlawanan terhadap Kolonial Belanda (VOC tahun 1677). Kiyai Taman adalah seorang pejuang Islam yang gigih menentang Belanda pada tahun 1919. Kiai Djauhari membuka cabang Hizbullah di Prenduan. Didirikan pada tahun 1944, Hizbullah adalah organisasi militer pemuda Majelis Muslimin Indonesia (Masjumi), organisasi yang berpengaruh secara nasional kala itu. KH. Abdullah Sajjad, salah satu pengasuh PP. Annuqayah salah satu pahlawan dari Kabupaten Sumenep. KH. Mawardi, salah satu pengasuh PP. Sumber Anyar salah satu pahlawan dari Pamekasan. Madura masih menyimpan banyak tokoh ulama seperti Syaikhona Kholil Bangkalan, K.Abdul Majid Bata-bata, K.Moh.Ilyas Guluk-guluk, K. Abdul Hamid Baqir Banyuanyar, K. Jufri Marzuqi Sumber Batu (dianugerahi gelar al-Syahidul Kabir oleh PB.NU), Halim Perdana Kusuma salah satu pahlawan Nasional yang tewas di semenanjung Malaya, dsb.
Mayoritas masyarakat hampir 100 % suku Madura adalah penganut Islam bahkan suku Madura yang tinggal di Madura bisa dikatakan 100 % muslim. suku Madura terkenal sangat taat dalam beragama islam. Salah satu sebabnya dengan adanya Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh pulau madura. Misalnya Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar di Kabupaten Pamekasan, Pondok pesantren AnnuqayahPondok Pesantren Annuqayah disingkat PPA pesantren yang terletak di desa Guluk-Guluk, Pondok Pesantren Al-Amin di Sumenep dan Pondok Pesantren, Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Pondok Pesantren Attaraqqi Sampang, dan pesantren-pesantren lainnya dari yang memiliki santri ribuan, ratusan, dan puluhan yang tersebar di Pulau Madura. Pesantren-pesantren begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura karena pesantren tidak sekedar mengajar ilmu agama tapi juga mempunyai kiprah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan peduli pada nasib rakyat kecil. Misalnya Pondok-Pesantren Sumber Mas yang terletak di desa ter pencil Rombiya Barat Ganding Sumenep. Sekalipun jumlah santri hanya berkisar ratusan, namun pesantren ini telah memiliki usaha untuk memberdayakan para alumni dan masyarakat sekitar dengan program simpan pinjam yang dimotori oleh BMT Sumber Mas, pembinaan peternak sapi dan kambing, ayam petelor, usaha rental dan sebagainya.
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan. Juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan larung sesaji).

Tulisan di atas hanya streotipe saja yang hanya dilakukan oleh segelintir orang. Suku Madura memiliki aturan dan tatakrama yang sangat kuat. Orang Madura sangat menghormati orang tua, guru, dan sebagainya. Apalagi Madura Timur (Pamekasan dan Sumenep)yang dikenal halus gaya bicaranya dan sangat sopan santun.
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa lebbi bagus pote tollang, atembang pote mata. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti ini melahirkan tradisi carok pada masyarakat Madura.

Ada perbedaan antara Madura Timur (Sumenep dan Pamekasan)dengan Madura Barat (Sampang dan Bangkalan). Orang Madura Timur dikenal lebih halus baik dari sikap, bahasa, dan tatakrama dari pada orang Madura Barat. Orang Madura Barat lebih banyak merantau dari pada Madura Timur. Hal ini, dikarenakan Madura Barat lebih gersang dari pada Madura Timur yang dikenal lebih subur.



Budaya Kawin Sedarah, Budaya Apakah itu?

Polahi adalah julukan untuk suku terasing yang hidup di hutan pedalaman Gorontalo. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, polahi adalah masyarakat pelarian zaman dahulu yang melakukan eksodus ke hutan karena takut dan tidak mau dijajah oleh Belanda sehingga menjadikan mereka sebagai suku terasing sampai dengan saat ini. Mereka hidup di pedalaman hutan daerah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa, Provinsi Gorontalo.

Konon orang Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda, yang katanya untuk menghindari pembayaran pajak. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Departemen Sosial di tingkat Kabupaten Gorontalo mengidentifikasi masyarakat Polahi dengan Kelompok 9, Kelompok 18, Kelompok 21, Kelompok 70, dan sebagainya, berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu "kampung".

Literatur mengenai masyarakat ini tak ada. Bahasanya adalah dialek Gorontalo, dan menganut agama tradisional. Mereka hidup dari bercocok tanam alakadarnya dan berburu babi hutan, rusa, serta ular sanca. Belum mengenal pakaian seperti umumnya orang Indonesia, hanya memakai penutup syahwat dari daun palma dan kulit kayu. Rumah mereka sederhana, tak berdinding, dapur dibuat di tengah, juga berfungsi untuk penghangat. Mereka tak mengenal sekolah dan fasilitas kesehatan modern. Untuk mencapai Kelompok 9, diperlukan jalan kaki naik gunung sekitar tujuh jam.

Mereka terbelakang, tak hanya karena keterpencilan dan tak mempunyai pendidikan formal, bahkan dalam kebudayaan mereka tak dikenal hitung-menghitung dan tak dikenal hari. Atas bantuan para peneliti, saya dapat bertemu dengan tiga orang Polahi yang telah turun dari gunung. Angka maksimum yang dapat mereka hitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak". Sebelumnya saya mendengar bahwa orang Polahi hanya mengenal dua kriteria, yakni "satu" dan "banyak".


Kawin dengan saudara kandung adalah biasa. Sesepuh pada Kelompok 9 adalah seorang kakek tiga bersaudara, dua saudaranya itu perempuan. Dia mengawini kedua saudara kandungnya ini. Istrinya yang satu tak mempunyai anak, sedangkan satu lagi mempunyai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan. Anaknya mengawini anaknya, sehingga anaknya menjadi menantunya. Dengan mudah dapat dibayangkan betapa beratnya tantangan untuk memajukan masyarakat ini, mengintegrasikannya dengan pembangunan di Indonesia.

Kawin dengan Sedarah?
Kawin dengan saudara kandung merupakan sebuah pantangan bagi masyarakat kebanyakan, Namun, hal itu tidak berlaku bagi suku Polahi di pedalaman Gorontalo. Mereka hingga saat ini justru hanya kawin dengan sesama saudara mereka. Sama seperti postingan kami tentang Incest Kasus hubungan Seks Sedarah yang pernah kami posting beberapa waktu lalu. "Tidak ada pilihan lain. Kalau di kampung banyak orang, di sini hanya kami. Jadi kawin saja dengan saudara," ujar Mama Tanio, salah satu perempuan Suku Polahi yang ditemui di Hutan Humohulo, Pegunungan Boliyohuto, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo.

Suku Polahi merupakan suku yang masih hidup di pedalaman hutan Gorontalo dengan beberapa kebiasaan yang primitif. Mereka tidak mengenal agama dan pendidikan, serta cenderung tidak mau hidup bersosialisasi dengan warga lainnya. Walau beberapa keluarga Polahi sudah mulai membangun tempat tinggal tetap, tetapi kebiasaan nomaden mereka masih ada. Polahi akan berpindah tempat, jika salah satu dari keluarga mereka meninggal.

Nah, salah satu kebiasaan yang hingga sekarang masih terus dipertahankan oleh suku Polahi adalah kawin dengan keluarga sendiri yang masih satu darah. Hal biasa bagi mereka ketika seorang ayah mengawini anak perempuannya sendiri, begitu juga seorang anak laki-laki kawin dengan ibunya. Kondisi ini diakui oleh satu keluarga Polahi yang ditemui di hutan Humohulo. Kepala sukunya, Baba Manio, meninggal dunia sebulan lalu. Baba Manio beristri dua, Mama Tanio dan Hasimah. Dari perkawinan dengan Mama Tanio, lahir Babuta dan Laiya.

Babuta yang kini mewarisi kepemimpinan Baba Manio memperistri adiknya sendiri, hasil perkawinan Baba Manio dengan Hasimah. Hasimah sendiri merupakan saudara dari Baba Manio. Kelak anak-anak Babuta dan Laiya akan saling kawin juga. "Kalau mau kawin, Baba Manio membawa mereka ke sungai. Disiram dengan air sungai lalu dibacakan mantra. Sudah, cuma itu syaratnya," ujar Mama Tanio dengan polosnya.

Keterisolasian mereka di hutan dan ketidaktahuan mereka terhadap etika sosial dan agama membuat suku Polahi tidak mengerti bahwa inses dilarang. Bagi mereka, kawin dengan sesama saudara kandung adalah salah satu cara untuk mempertahankan keturunan Polahi. "Yang mengherankan, tidak ada dari turunan mereka yang cacat sebagaimana akibat dari perkawinan satu darah pada umumnya," ujar Ebbi Vebri Adrian, seorang juru foto travel yang ikut menyambangi suku Polahi.

Memang belum ada penelitian yang bisa mengungkapkan akibat dari perkawinan satu darah yang terjadi selama ini di Suku Polahi. Namun, dibandingkan dengan suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia, mungkin hanya Polahi yang mempunyai kebiasaan primitif tersebut. Sebuah ironi yang masih saja terjadi di belahan bumi Indonesia ini.

Cerita Mistis yang Melingkupinya
Beberapa puluh tahun lalu, keberadaan Polahi masih merupakan cerita mistis yang penuh misteri. Paling banyak cerita mengenai suku ini datang dari para pencari rotan yang mengambil rotan di Pengunungan Boliyohuto.

"Para pencari rotan sebelum saya, bercerita bahwa Polahi yang bertemu dengan mereka, selalu merampas barang-barang mereka. Mereka terpaksa menyerahkan makanan dan parang yang dibawa, karena kalau tidak Polahi bisa membunuh mereka," ujar Jaka Regani (48) salah satu pencari rotan yang ditemui di Hutan Humohulo, Panguyaman, Kecamatan Boalemo, Gorontalo, pekan lalu.

Dulu, Polahi tidak mengenal pakaian. Mereka hanya mengenakan semacam cawat yang terbuat dari kulit kayu atau daun woka untuk menutupi kemaluan mereka. Sementara itu, bagian dada dibiarkan telanjang, termasuk para wanitanya. "Tapi sekarang Polahi yang berada di Paguyaman dan sekitarnya sudah tahu berpakaian. Mereka sudah berpakaian layaknya warga lokal lainnya," ujar Rosyid Asyar, seorang juru foto yang meminati kehidupan Polahi.

Suku Polahi dianggap mempunyai ilmu kesaktian bisa menghilang dari pandangan orang. Mereka dipercaya punya kemampuan berjalan dengan sangat cepat, dan mampu hidup di tengah hutan belantara. "Dua puluh tahun lalu ada teman saya yang meneliti mengenai Polahi primitif sempat hidup bersama mereka selama seminggu. Menurut pengakuannya, ketika bertemu dengan Polahi primitif tersebut, matanya harus diusap dengan sejenis daun dulu baru bisa melihat Polahi," jelas Rosyid.

Kehidupan Polahi yang bertahan di hutan pedalaman Boliyohuto dan tidak mau turun hidup bersama dengan warga kampung, membuat cerita mistis mengenai mereka terus bertahan. Menurut sejarah yang bisa ditelusuri, sejatinya suku Polahi merupakan warga Gorontalo yang pada waktu penjajahan Belanda dulu melarikan diri ke dalam hutan. Pemimpin mereka waktu itu tidak mau ditindas oleh penjajah. Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut mereka Polahi, yang artinya "pelarian."

Jadilah Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, turunan Polahi masih bertahan tinggal di hutan. Sikap antipenjajah tersebut terbawa terus secara turun temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap penindas dan penjajah.

Keterasingan mereka di hutan membuat Polahi tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama. Turunan Polahi lalu menjadi warga yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Mereka juga tidak mengenal baca tulis serta menjadikan mereka suku yang tidak menganut agama.  Keterasingan itu semakin melengkapi misteri dan cerita mistis suku Polahi. "Awalnya kami takut bertemu dengan Polahi jika sedang berada di hutan mencari rotan, tetapi kini kami malah sering menumpang istirahat di rumah mereka ketika berada dalam hutan," kata Jaka.

Kebiasaan primitif yang hingga kini masih terus dipertahankan turunan Polahi adalah kawin dengan sesama saudara. Karena tidak mengenal agama dan pendidikan, anak seorang Polahi bisa kawin dengan ayahnya, ibu bisa kawin dengan anak lelakinya, serta adik kawin dengan kakaknya.




Selain di Paguyaman, suku Polahi juga bisa ditemui di daerah Suwawa dan Sumalata. Semuanya berada di sekitar Gunung Boliyohuto, Provinsi Gorontalo. "Memang untuk bertemu dengan Polahi primitif nyaris mustahil, tetapi beberapa orang meyakini hingga kini masih bertemu dengan mereka," kata Rosyid lagi.

Rabu, 22 April 2015

Mandailing adalah Batak. Benarkah itu?



Suku Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.

Pada masyarakat Minangkabau, Mandailing atau Mandahiliang menjadi salah satu nama suku yang ada pada masyarakat tersebut.


Asal Muasal Nama
Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalinga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang dari Portibi hingga Pidoli.[3] Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan yang mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.

Mandailing Bukan Batak
Dalam hal ini banyak sejarahwan asing menjadikan Mandailing menjadi sub etnis dari Batak mulai pada masa pemerintahan Belanda, padahal orang-orang Mandailing sendiri menolak untuk disatukan dalam etnis Batak dalam administrasi pemerintahan Belanda pada awal abad 20 lalu, yang dikenal sebagai Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925, yang berlanjut ke pengadilan. Hingga akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak, karena etnis Batak sendiri sebenarnya lebih muda dari etnis Mandailing berdasarkan silsilah yang diakui etnis Batak sendiri Tarombo si Raja Batak,- nenek moyang orang Batak, yang ibunya yang bernama Deak Boru Parujar berasal dari etnis Mandailing. Etnis Mandailing sendiri menurut silsilahnya berasal dari etnis Minangkabau.

Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi.

Kekerabatan

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini lah yang menyebabkan marga orang Batak bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di perantauan.

Mandailing atau Mandahiling berdasarkan Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga) berasal dari kata Mandala (pusat federasi) dan Hiling atau Holing (Kalinga). Wilayah ini kemudian masuk ke dalam kedatuan Sriwijaya setelah Kerajaan Hindu Kalinga berhasil ditumbangkan. Setelah itu, Mandailing berpindah-pindah kekuasaan dari satu dinasti ke dinasti lainnya.

Masa Kalingga

Bagas Godang Singengu/Rumah Tradisional Raja di Mandailing.
Masa ini disebut juga masa kejayaan orang-orang Mandailing atau Mandahiling di nusantara. Ratu terakhirnya adalah Ratu Shima dan Raja Sanna/Senna/Sinna yang mempunyai dua anak, yaitu Paduka Sri Maharaja Indrawarman dan Raja Sanjaya. Kerajaan ini bubar pada abad ke-7setelah Sri Maharaja Indrawarman terbunuh oleh Syailendra di istananya Kerajaan Dharmasraya, sedangkan Raja Sanjaya yang awalnya beribukota di pesisir utara Jawa Tengah dekat Semarang yang menamakan ibukotanya sebagai Kalingga tersingkir oleh Raja Syailendra hingga ke pedalaman, yaitu Mataram, hingga membentuk kerajaan yang dikenal sebagai Mataram Hindu. Sri Maharaja Indrawarman dan Raja Sanjaya ditumbangkan Syailendra, karena dianggap melanggar adat karena masuk agama Islam, yang dibawa oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan. Kerajaan Kalingga digantikan Kerajaan Sri Wijaya yang didirikan Syailendra yang beribukota di Palembang.

Masa Sriwijaya
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di Sumatera dan banyak memberi pengaruh terhadap kebudayaan Nusantara. Wilayah kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Mandailing di Sumatera Utara, merupakan salah satu daerah bawahan (vassal) Imperium Sriwijaya.

Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan. Diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa pada tahun 990, dan serangan Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola pada tahun 1025. Selanjutnya pada tahun 1183, kekuasaan Sriwijaya berada dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.

Masa Kerajaan Chola
Pada abad ke-10, Rajendra dari Kerajaan Chola di Koromandel, selatan anak benua India, memindahkan pusat pemerintahannya di Mandailing ke daerah Hang Chola (Angkola) atau Gangaikonda Cholapuram. Rajendra Chola I (bahasa Tamil: முதலாம் இராஜேந்திர சோழன்) adalah putra Rajaraja Chola I. Ia menjadi raja Chola pada tahun 1014. Selama kekuasaannya, ia memperluas wilayah kerajaan hingga ke tepi Sungai Gangga di utara, Burma, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Lakshadweep, Maladewa, menaklukan Sriwijaya (Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara), dan Kepulauan Pegu. Ia menaklukan Mahipala, raja Pala dari Benggala dan Bihar, dan untuk mengenang kemenangannya ia membangun ibukota barunya yang disebut Gangaikonda Cholapuram. Rajendra adalah raja India pertama yang membawa angkatan bersenjatanya ke luar negeri. Ia juga membangun kuil untuk Siwa di Gangaikonda Cholapuram.

Masa Kesultanan Aru
Terdapat perdebatan tentang lokasi pusat Kerajaan Aru. Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Aru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas), dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Langkat). Selain itu ada juga yang berpendapat terdapat perbedaan antara Kerajaan Aru di Deli dan Kesultanan Aru di Muara Barumun. Hal ini dikarenakan Kesultanan Aru di Barumun didirikan oleh Sultan Malik al-Mansur, putra sultan Samudera Pasai pertama, Malik al-Saleh. Kesultanan ini berdiri dari tahun 1299 - 1512. Sedangkan, Kesultanan Aru di Deli Tua didirikan Menang Suka gelar Sultan Makmum Al-Rasyid, yang beristri Putri Hijau saudara dari Sultan Aceh yang pertama, Ali Mughayat Syah. Kesultanan ini pada tahun 1512 - 1523, diperalat Portugis untuk menyerang Aceh. Aceh berhasil berkuasa di Kesultanan Aru dari 1523 - 1802, karena raja terakhir Kesultanan Aru ditawan dan dipancung Laksamana Tuanku Ibrahim Syah. Tahun 1802 - 1816, Kesultanan Aru dikuasai Kerajaan Pagaruyung dan menempatkan Baginda Sripaduha (Soripada), sebagai wali negeri Padang Lawas, dengan cap kepala sembilan dari Yang Dipertuan Raja Naro.

Dalam Kedaulatan Majapahit
Mpu Prapanca, seorang pujangga Kerajaan Majapahit menulis satu kitab yang berjudul Negarakertagama sekitar tahun 1365. Kitab tersebut ditulisnya dalam bentuk syair yang berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Mulyana (1979:9), Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, keberadaan kitab ini tidak diketahui. Setelah tahun 1894, satu Kitab Negarakertagama ditemukan di Puri Cakranegara di Pulau Lombok. Kemudian pada Juli 1979 ditemukan lagi satu Kitab Negarakertagama di Amlapura, Lombok. Dalam Pupuh XIII Kitab Negarakertagama, nama Mandailing bersama nama banyak negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit.

Dalam Kedaulatan Pagaruyung
Mandailing sebagaimana wilayah lain di Sumatera, kemudian diserahkan pihak Majapahit kepada Kerajaan Pagaruyung, di bawah pemerintahan Adityawarman dan keturunannya. Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa, disebutkan pada tahun 1347, Adityawarman memproklamirkan dirinya menjadi raja di Malayapura. Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman dan Dara Jingga, seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada, telah berperang menaklukkan Bali dan Palembang.

Kemerdekaan Pagaruyung dari Majapahit, diberitakan dalam kisah adu Kerbau, yang mencuatkan nama Minangkabau (Menang Kerbau), yaitu pada kurun abad ke-16. Kala itu, Brawijaya V memerintahkan anaknya Raden Patah yang tinggal di Palembang, untuk menarik kembali Kerajaan Pagaruyung ke wilayah Kerajaan Majapahit. Namun dengan kecerdikan Bundo Kanduang, pasukan Majapahit yang berasal dari suku Bugis di Palembang, berhasil dikalahkan dengan pertandingan adu kerbau.

Inggris Mengklaim Utara Sumatera
Sultan Bagindo Martio Lelo bersama Jhon Abraham Moschel (Residen Nias) selaku pemegang kuasa dan bertindak atas nama Serikat Dagang Hindia Timur, melakukan perjanjian. Kalimat perjanjian tertanggal 7 Maret 1760 itu menyebutkan, Sutan Martia Lelo bersumpah berdasarkan Al Qur'an menyerahkan benteng Natal kepada Moschel.

Tahun 1785 – 1824, Inggris mendirikan pusat perdagangan di Tapian Nauli (Sibolga). Tahun 1821 – 1833, panglima Paderi Tuanku Lelo dijadikan calon sultan di Angkola oleh Inggris. Tahun 1823, Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles membuat kebijakan untuk membentuk suku Kristen, yang berada di antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, yaitu di pedalaman Barus yang kala itu menjadi bawahan Kesultanan Aceh. Dalam Bahasa Belanda, kebijakan itu berbunyi, "Een wig te drijen tusschen het mohamedaansche Atjeh en het eveneens mohammadansche Sumatra's West Kust. Een wig in de vorm van de Bataklanden (Aceh yang Islam serta Minangkabau (Pantai Barat Sumatera) yang Islam, dipisah dengan blok Batak (Barus Tanah Kristen)."

Perintah ini meniru perintah Gubernur Jenderal Inggris di Calcutta, yang membentuk blok Karen yang Kristen, di antara Burma dan Siam yang beragama Buddha. Pelaksanaannya, tiga orang pendeta British Baptist Mission, yaitu Burton, Ward, dan Evans datang ke Kota Tapian Nauli, tempat Raffless beribu kota saat itu.

Tahun 1824, Inggris mengklaim Sumatera bagian utara merupakan wilayah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1834 melalui Traktat London, Sumatera bagian utara ditukar oleh Belanda dengan Kalimantan Utara (Sarawak dan Sabah). Kebijakan Raffles tentang suku Kristen (Batak) kemudian diteruskan oleh pemerintah Hindia-Belanda di bawah pimpinan Cornelis Elout.

Masa Darul Islam Minangkabau[sunting | sunting sumber]
Pada awal abad ke-19, Mandailing masuk ke dalam Darul Islam Minangkabau. Negara Islam ini berdiri sejak masuknya ajaran Wahabi yang dibawa oleh ulama Minangkabau dari Arab Saudi, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Dengan bantuan Tuanku Nan Renceh, ketiga haji itu mendirikan Darul Islam Minangkabau, dimana Tuanku Nan Renceh diangkat sebagai kepala negara. Setelah ia ditangkap, pimpinan negara beralih ke Tuanku Imam Bonjol.

Di Mandailing, kehadiran Wahabi mengganggu aliran Islam yang berkembang saat itu, yakni aliran Syiah dan Sunni mazhab Hanafi. Kejadian ini dimanfaatkan Belanda untuk mengadu domba sesama penganut Islam, hingga terjadilah perang saudara. Lebih lima tahun, perang berkecamuk di Mandailing hingga berakhir pada tahun 1838.

Pada tahun 1818 – 1820, Darul Islam Minangkabau berhasil menguasai Mandailing. Dan kepala federasi Mandailing Natal, Raja Gadumbang, masuk Gerakan Paderi dan digelari Tuanku Mandailing. Kemudian pasukan Paderi terus melakukan penyerangan hingga menguasai Bakkara di Tapanuli Utara yang berada di bawah Kesultanan Aceh. Tahun 1820, terjadi perundingan antara Kesultanan Aceh dan Darul Islam Minangkabau, yang diwakili oleh Laksamana Tuanku Djudjang dan Tuanku Pemasiangan, untuk bekerja sama menyerang Belanda.

Masa Hindia Belanda
Kehancuran Darul Islam Minangkabau dimulai sejak tahun 1832, yakni dengan keberhasilan Belanda menawan kepala negara Darul Islam Minangkabau Tuanku Pemasiangan yang mati digantung di Fort Guguk Gantang. Tahun 1832, benteng Bonjol berhasil dihancurkan Belanda. Kolonel Elout menyebarkan isu, telah membeli seluruh alam Minangkabau untuk pemerintah Belanda dari Raja Alam Pagaruyung yang dikabarkan berada di Padang.

Tahun 1833, Belanda dan pemuka-pemuka adat Minangkabau mengadakan perjanjian Plakat Panjang, yang menyatakan Belanda tak mencampuri urusan adat di Minangkabau. Dalam peristiwa ini, Raja Gadumbang juga membuat perjanjian dengan Belanda, untuk mengusir Gerakan Paderi dari wilayah Mandailing Natal. Ia kemudian dinobatkan sebagai Regen Mandailing Vour Her Leven (pemangku adat Mandailing seumur hidup). Pada tahun ini, Belanda hanya mengakui beberapa Raja Mandailing, yaitu Langgar Laut di Angkola, Baginda Raja di Maga, Sutan Parukunan di Singengu, Sutan Naparas di Tamiang, Sutan Mangkutur di Uta Pungkut, Sutan Naparas dan Sutan Guru di Pakantan, Patuan Gorga Tonga Hari Ulu (Yang Patuan di Lubuk Sikaping). Tetapi perjanjian ini dikhianati Belanda sendiri. Akibatnya Sutan Mangkutur, saudara dari Raja Gadombang dan Sutan Naparas dari Tamiang memberontak kepada pemerintah Belanda.

Tahun 1834, dua perwira Paderi, yakni Ja Mandatar Lubis dan Kali Rancak Lubis, dibaptis oleh pendeta Verhouven menjadi Kristen Calvinis. American Baptist Mission mengirim tiga orang pendeta, yaitu Lyman, Munson, dan Ellys untuk ditempatkan di Pakantan, guna membantu pendeta Verhouven. Tahun 1834, Kolonel Elout berhasil menguasai Angkola tanpa perlawanan dari Inggris. Tahun 1838, Belanda membentuk Residen Air Bangis dalam Gouvernemen Sumatra’s Westkust.

Pada Tahun 1840, Panyabungan menjadi ibu kota Asisten Residen Mandailing Natal dalam Gubernemen Sumatra's Westkust. Tahun 1857, kawasan Mandailing, Angkola, dan Rao disatukan dalam Karesidenan Air Bangis.

Tahun 1861, pendeta-pendeta Jerman menggantikan pendeta-pendeta Belanda di Sipirok, yaitu pendeta Van Asselt dan Klammer. Pada tahun 1863, Ludwig Ingwer Nommensen ditemani Ja Mandatar Lubis dan Kali Rancak Lubis, pindah dari Sipirok ke Silindung.

Tahun 1869, American Baptist Mission dan British Baptist Mission tidak mau mengongkosi pendeta di Pakantan, karena susah dikembangkan. Kemudian Tahun 1869 – 1918, pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina datang ke Pakantan. Mereka berhenti melakukan misi setelah Dinasti Romanov tumbang.

Tahun 1873, Silindung dimasukkan ke dalam Residensi Air Bangis, setelah berhasil ditaklukkan Belanda. Kaum muslimin di Silindung diusir dan masjid di Tarutung dibongkar. Tahun 1881, daerah Batak Toba berhasil ditaklukkan Belanda, dan dilanjutkan dengan pengkristenan masyarakatnya. Hal ini membuat wali negeri Bakkara, Sisingamangaraja XII yang berada di bawah Kesultanan Aceh, melakukan perlawanan sengit dari tahun 1882 - 1884.

Tahun 1885, Karesidenan Mandailing Natal terbentuk dan beribukota di Padangsidempuan. Tahun 1906, pusat pemerintahan Residen Mandailing Natal dipindahkan dari Padangsidempuan ke Sibolga, dan berubah menjadi Karesidenan Tapanuli, yang termasuk di dalamnya afdeeling Sibolga dan Bataklanden.

Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1945, daerah Angkola-Sipirok dibentuk menjadi suatu kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati yang berkedudukan di Padangsidempuan. Daerah Padang Lawas dijadikan suatu kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati yang berkedudukan di Gunung Tua. Bupati pertamanya adalah Parlindungan Lubis dan kemudian Sutan Katimbung. Daerah Mandailing Natal dijadikan suatu kabupaten yang berkedudukan di Panyabungan. Bupati pertamanya adalah Junjungan Lubis dan kemudian Fachruddin Nasution.

Sesudah tentara Belanda memasuki Padangsidimpuan dan Gunung Tua, daerah administrasi pemerintahan masih tetap seperti biasa, hanya kantor bupati dipindahkan secara gerilya ke daerah yang aman yang belum dimasuki oleh Belanda.

Setelah RI menerima kedaulatan pada akhir tahun 1949, maka pembagian daerah administrasi pemerintahan mengalami perubahan kembali. Sejak awal tahun 1950, terbentuklah Kabupaten Tapanuli Selatan, dan seluruh pegawai yang ada pada kantor bupati Angkola-Sipirok, Padang Lawas, dan Mandailing Natal, diangkat menjadi pegawai kantor bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang berkedudukan di Padangsidempuan.


Pada tanggal 23 Nopember 1998, Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Mandailing Natal (ibukota Panyabungan) dan Kabupaten Tapanuli Selatan (ibukota Padangsidempuan). Kini, wilayah etnis Mandailing telah dimekarkan menjadi satu kota (Padangsidempuan) dan tiga Kabupaten (Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas).

Jawa, Apa sih Jawa itu?



Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain terdapat di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur terdapat juga di daerah perantauan orang Jawa yaitu di Jakarta,Sumatera dan Suriname. Bahkan budaya Jawa termasuk salah satu budaya di Indonesia yang paling banyak diminati di luar negeri. Beberapa budaya Jawa yang diminati di luar negeri adalah Wayang Kulit, Keris, Batik, Kebaya dan Gamelan. Di Malaysia dan Filipina dikenal istilah keris karena pengaruh Majapahit.LSM Kampung Halaman dari Yogyakarta yang menggunakan wayang remaja adalah LSM Asia pertama yang menerima penghargaan seni dari Amerika Serikat tahun 2011.Gamelan Jawa menjadi pelajaran wajib di AS, Singapura dan Selandia Baru.Gamelan Jawa rutin digelar di AS dan Eropa atas permintaan warga AS dan Eropa. Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya karya sastra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Memori Dunia.Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.Bahkan banyak negara di dunia terutama Amerika dan Eropamenyebut Jawa identik kopi.Budaya Jawa termasuk unik karena membagi tingkat bahasa Jawa menjadi beberapa tingkat yaitu Ngoko, Madya Krama. Ada yang berpendapat budaya Jawa identik feodal dan sinkretik. Pendapat itu kurang tepat karena budaya feodal ada di semua negara termasuk Eropa. Budaya Jawa menghargai semua agama dan pluralitas sehingga dinilai sinkretik oleh budaya tertentu yang hanya mengakui satu agama tertentu dan sektarian.
Budaya Jawa juga menghasilkan agama sendiri yaitu Kejawen. Kejawen berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa. Tetapi mayoritas orang Jawa sekarang menganut agama Islam dan sebagian kecil orang Jawa menganut agama Kristen atauKatolik. Dahulu orang Jawa menganut agama Hindu, Buddha dan Kejawen. Bahkan orang Jawa ikut menyebarkan agama Hindu dan Buddha dengan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha Jawa yang berperan. Orang Jawa juga ikut menyebarkan agama Islam dan Kristen atau Katolik di Indonesia. Orang Jawa termasuk unik karena menjadi satu satunya suku di Indonesia yang berperan penting dalam menyebarkan 5 agama besar. Seorang peneliti AS Clifford Geertz bahkan pernah meneliti orang Jawa dan membagi orang Jawa menjadi 3 golongan besar yaitu : Abangan, Priyayidan Santri.
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Sastra Jawa Kuna
Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Modern
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atauHanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa. Dongeng Jawa seperti cerita panji ternyata juga dikenal dan dipentaskan di Thailand dan Filipina. Banyak sastra Jawa yang berada di Eropa terutama Belanda bahkan ada perguruan tinggi Belanda yang membuka mata kuliah sastra Jawa seperti Universitas Leiden. Beberapa kakawin yang ditulis oleh pujangga Jawa menyadur dari karya India atau cerita Jawa diantaranya adalah :
Kakawin Sutasoma (menjadi motto Bhinneka Tunggal Ika)
Kakawin Nagarakretagama
Kakawin Smaradahana
Kakawin Ramayana
Kakawin Smaradahana
Kakawin Arjunawiwāha
Kakawin Kresnayana
Kakawin Bhāratayuddha
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa di Jawa Tengah,Yogyakarta & Jawa Timur. Selain itu, Bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal beberapa daerah lain seperti di Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon. Kawasan-kawasan luar Jawa yang terdapat penutur bahasa Jawa yaitu : Lampung (61,9%), Jakarta (35%), Sumatera Utara (32,6%), Kaltim (29,5%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%), Riau 25%, Aceh (15,87%) yang dikenal sebagaiAneuk Jawoe. Penutur bahasa Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Barubahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea,Hong Kong, serta beberapa negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa dipastikan kelestariannya.

Banyaknya kerajaan yang pernah berdiri di Jawa juga menyumbang ragam kebudayaan di Jawa. Kerajaan Jawa yang banyak mengusai daerah lain termasuk Malaysia dan Filipina ikut menyumbang tersebarnya budaya keris di seluruh Indonesia dan Asia. Kerajaan yang pernah berdiri di Jawa diantaranya :

Kerajaan Hindu/Buddha

Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kanjuruhan
Kerajaan Mataram Hindu
Kerajaan Kahuripan
Kerajaan Janggala
Kerajaan Kadiri (1042 - 1222)
Kerajaan Singasari (1222-1292)
Kerajaan Majapahit (1292-1527)

Kerajaan Islam dan Jawa Modern

Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kasunanan Surakarta
Kasultanan Yogyakarta
Kadipaten Paku Alaman
Praja Mangkunagaran

Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan budaya Eropa. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa. Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II yaitu seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Blambangan).



Seni Tradisional Jawa adalah karya seni yang diciptakan dan berasal dari Pulau Jawa, Indonesia. Beberapa contoh dari seni tradisional jawa antara lain tari gambyong. Kesenian tradisional dari Jawa ada berbagai macam, tetapi secara umum dalam satu akar budaya kesenian Jawa ada 3 kelompok besar yaitu Banyumasan (Ebeg), Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ludrukdan Reog).

Senin, 20 April 2015

Suku Samin

Ajaran Samin (disebut juga Pergerakan Samin atau Saminisme) adalah salah satu suku yang ada di Indonesia. Masyarakat ini adalah keturunan para pengikut Samin Surosentiko yang mengajarkan sedulur sikep, di mana mereka mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial. Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok di luarnya.

Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri hingga baru pada tahun '70-an, mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. Kelompok Samin ini tersebar sampai Jawa Tengah, namun konsentrasi terbesarnya berada di kawasan Blora, Jawa Tengah dan Bojonegoro, Jawa Timur yang masing-masing bermukim di perbatasan kedua wilayah. Jumlah mereka tidak banyak dan tinggal di kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi. Kelompok Samin lebih suka disebut wong sikep, karena kata samin bagi mereka mengandung makna negatif.Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, tidak suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin Surosentiko, yang nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914.

Pengikut ajaran Samin mempunyai lima ajaran:

tidak bersekolah,
tidak memakai peci, tapi memakai “iket”, yaitu semacam kain yang diikatkan di kepala mirip orang Jawa dahulu,
tidak berpoligami,
tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut,
tidak berdagang, dan
penolakan terhadap kapitalisme.

Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:

Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
Bersikap sabar dan jangan sombong.
Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.

Sebagaimana paham lain yang dianggap oleh pendukungnya sebagai agama, orang Samin juga memiliki "kitab suci". "Kitab Suci" itu adalah Serat Jamus Kalimasada  yang terdiri atas beberapa buku, antara lain Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten,Serat Uri-Uri Pambudi ,Serat Jati Sawit,Serat Lampahing Urit, dan merupakan nama-nama kitab yang amat populer dan dimuliakan oleh orang Samin.

Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten (pengukuhan kehidupan sejati) ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusastraan Jawa.

Dengan mempedomani kitab itulah, orang Samin hendak membangun sebuah nagara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokali dilakoni."

Walaupun masa penjajah Belanda  dan Jepang telah berakhir, orang Samin tetap menilai pemerintah Indonesia saat itu tidak jujur. Oleh karenanya, ketika menikah mereka tidak mencatatkan dirinya baik di KUA atau di catatan sipil.

Secara umum, perilaku orang Samin/ 'Sikep' sangat jujur dan polos tetapi kritis.

Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko. Bagi mereka menghormati orang lain tidak dari bahasa yang digunakan tapi sikap dan perbuatan yang ditunjukkan.

Pakaian orang Samin biasanya berupa baju lengan panjang tanpa kerah, berwarna hitam.Laki-laki memakai ikat kepala. Untuk pakaian wanita bentuknya kebaya lengan panjang, berkain sebatas di bawah tempurung lutut atau di atas mata kaki.

Dalam hal kekerabatan masyarakat Samin memiliki persamaan dengan kekerabatan Jawa pada umumnya. Sebutan-sebutan dan cara penyebutannya sama. Hanya saja mereka tidak terlalu mengenal hubungan darah atau generasi lebih ke atas setelah Kakek atau Nenek.

Hubungan ketetanggaan  baik sesama Samin maupun masyarakat di luar Samin terjalin dengan baik. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat Samin memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat sekalipun tempat tinggalnya jauh.

Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja (U)Tama” (anak yang mulia).

Dalam ajaran Samin, dalam perkawinan seorang pengantin laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian: “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

Menurut orang Samin perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin.

Ajaran perihal Perkawinan dalam tembang Pangkur orang Samin adalah sebagai berikut (dalam Bahasa Jawa):

Basa Jawa
   

Terjemahan

“Saha malih dadya garan,
   
"Maka yang dijadikan pedoman,

anggegulang gelunganing pembudi,
   

untuk melatih budi yang ditata,

palakrama nguwoh mangun,
   

pernikahan yang berhasilkan bentuk,

memangun traping widya,
   

membangun penerapan ilmu,

kasampar kasandhung dugi prayogântuk,
   

terserempet, tersandung sampai kebajikan yang dicapai,

ambudya atmaja 'tama,
   

bercita-cita menjadi anak yang mulia,

mugi-mugi dadi kanthi.”
   

mudah-mudahan menjadi tuntunan."

Pandangan masyarakat samin terhadap lingkungan sangat positif, mereka memanfaatkan alam (misalnya mengambil kayu) secukupnya saja dan tidak pernah mengeksploitasi. Hal ini sesuai dengan pikiran masyarakat Samin yang cukup sederhana, tidak berlebihan dan apa adanya. Tanah bagi mereka ibarat ibu sendiri, artinya tanah memberi penghidupan kepada mereka. Sebagai petani tradisional maka tanah mereka perlakukan sebaik-baiknya. Dalam pengolahan lahan (tumbuhan apa yang akan ditanam) mereka hanya berdasarkan musim saja yaitu penghujan dan kemarau. Masyarakat Samin menyadari isi dan kekayaan alam habis atau tidak tergantung pada pemakainya.

Pemukiman masyarakat Samin biasanya mengelompok dalam satu deretan rumah-rumah agar memudahkan untuk berkomunikasi. Rumah tersebut terbuat dari kayu terutamakayu jati dan juga bambu, jarang ditemui rumah berdinding batu bata. Bangunan rumah relatif luas dengan bentuk limasan, kampung , atau joglo. Penataan ruang sangat sederhana dan masih tradisional, terdiri dari ruang tamu yang cukup luas, kamar tidur, dan dapur. Kamar mandi dan sumur terletak agak jauh dan biasanya digunakan oleh beberapa keluarga . Kandang ternak berada di luar, di samping rumah.Upacara -upacara tradisi yang ada pada masyarakat Samin antara lain nyadran  (bersih desa) sekaligus menguras sumber air pada sebuah sumur tua yang banyak memberi manfaat pada masyarakat. Tradisi selamatan yang berkaitan dengan daur hidup  yaitu kehamilan, kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. Mereka melakukan tradisi tersebut secara sederhana.

Perubahan zaman juga berpengaruh terhadap tradisi masyarakat Samin. Mereka saat ini sudah menggunakan traktor dan pupuk kimiawi dalam pertanian, serta menggunakan peralatan rumah tangga dari plastik, aluminium, dan lain-lain.